ASPOST.ID– Bagi eks kombatan GAM di Aceh, pada tanggal 4 Desember setiap tahun menjadi hari bersejarah antara Aceh dengan Indonesia. Tepatnya, 4 Desember 1976, Dr Teungku Hasan Muhammad di Tiro, M.S., M.A,.LL.D.,Ph.D., mendeklarasi perjuangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Tahun 2019, merupakan Milad GAM ke-43 yang diperingati di Aceh dan kabupaten/kota. Acara diisi dengan doa bersama, zikir dan santuni anak yatim serta di isi dengan tausyiah. Berbeda di Lhokseumawe, di Masjid Paloh Punti, Kecamatan Muara Satu, Lhokseumawe, sempat berkibar bendera bintang bulan selama hampir 20 menit.
Bendera itu dikibarkan di tiang halaman masjid Paloh Punti. Kegiatan berlangsung usai doa bersama, zikir, santuni anak yatim dan orasi politik serta tausyiah. Saat pengibaran bendera bintang bulan disaksikan oleh ribuan masyarakat serta aparat keamanan.
Selain itu, ternyata Senator Aceh, Fachrul Razi, dirinya langsung membentang bendera bintang bulan yang ditelah disahkan sebagai bendera Aceh. Anggota DPD RI asal Aceh, Fachrul Razi mengatakan peringatan milad GAM yang ke-43 tahun 2019 berjalan dengan damai dan tertib di berbagai wilayah di Aceh.
Kondisi itu, telah menunjukkan bahwa rakyat Aceh cinta akan perdamaian dan komit dengan perdamaian untuk mewujudkan Aceh yang damai, sejahtera dan bermartabat.
“Peringatan 43 tahun milad GAM tanggal 4 Desember 2019 dan usia perdamaian 14 tahun perdamaian menjadi sebuah momentum bersejarah bagi Aceh dalam menjaga perdamaian dan menunjukkan yang terus membuktikan komitmen untuk menjalankan dan menjaga perdamaian di Aceh,” katanya di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (4/12).
Menurutnya, meski perdamaian Aceh ke-14 tahun dan peringatan GAM ke-43, namun masih terdapat beberapa persoalan yang belum selesai seperti butir perjanjian MoU Helsinki yang belum selesai. Tepat pada 15 Agustus 2005 silam, MoU itu ditandatangani antara RI-GAM.
“Kami meminta kepada Pemerintah pusat untuk terus membangun kepercayaan, meningkatkan komitmen dalam mewujudkan perdamaian di Aceh dengan melaksanakan semua janji yang telah ditandatangani di MoU Helsinki,” pintanya.
Fachrul menambahkan perdamaian abadi di Aceh yang telah ditandatangani perjanjian damai MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005 dan telah melahirkan Undang-Undang Pemerintah Aceh setidaknya terdapat 16 poin dalam UUPA masih bertentangan dengan MoU Helsinki.
Lanjut dia, ada 11 poin yang belum dilaksanakan sama sekali, sedangkan 26 poin sudah selesai seiring dengan berakhirnya tugas AMM dan 1 poin bidang penyelesaian perselisihan sesuai pasal 6 poin C MoU Helsinki.
“Artinya baru 17 poin yang dilaksanakan sesuai dengan MoU Helsinki. Kami merekomendasikan agar UUPA direvisi sesuai dengan Mou Helsinki. Pemerintah pusat tidak perlu curiga dan apriori dengan perjanjian damai ini karena telah membangun kepercayaan kedua belah pihak perdamaian abadi sehingga dapat terwujud melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan Konsitusi republik Indonesia,” jelasnya.
Tak hanya persoalan perjanjian MoU Helsinki, Fachrul juga mengatakan masih ada persoalan yang lain yaitu persoalan dana otsus Aceh.
Menurutnya, persoalan dana Otsus Aceh yang akan berakhir pada tahun 2027 harus dilanjutkan untuk selama-lamanya. Dia menegaskan keberlanjutan pelaksanaan Otsus harus didukung dengan evaluasi yang komprehensif yang dilakukan secara berkala dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan baik ditingkat pusat maupun daerah.
Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) harus diarahkan untuk peningkatan kualitas sdm dan mempercepat pertumbuhan ekonomi tepat sasaran dan tepat kegunaan. Seperti untuk pembangunan pendidikan, kesehatan, pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan ekonomi, kesejahteraan dan pengembangan kelembagaan sosial budaya masyarakat. “Kami menilai pemanfaatan dan penggunaan DOKA harus akuntabel dan melibatkan masyarakat agar dapat diawasi bersama-sama,”ujarnya.
Selain itu, sambung dia, persoalan yang terakhir adalah persoalan bendera Aceh. Dia menegaskan bahwa qonum Aceh nomor 3 Tahun 2013 tentang bendera dan lambang Aceh telah mendapat pengesahan oleh gubernur dan DPR Aceh. Karena Aceh telah memiliki bendera dan lambang sendiri seperti yang tertera dalam undang undang nomor 11 tahun 2006 tentang pemerintah Aceh pada pasal 246 dan pasal 247 UUPA.
“Jadi dengan telah disahkannya Qanun nomor 3 tersebut, maka rakyat Aceh menganggap benar Aceh telah merdeka dalam bingkai NKRI. Oleh karena itu kami mendesak agar bendera Aceh sudah bisa diresmikan dan dikibarkan sebagai bendera lokal di Aceh bersamaan dengan bendera kebangsaan bendera Merah Putih,”tegasnya, dikutip jitunews. (aspost)