ASPOST.ID– Pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan dipastikan berdampak pada keberlangsungan program jaminan kesehatan nasional (JKN). Pemerintah bakal mempelajari terlebih dulu putusan Mahkamah Agung (MA) secara utuh sebelum menentukan langkah selanjutnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, putusan MA yang membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan akan membawa konsekuensi bagi keberlangsungan JKN. Tentunya, ini akan berdampak juga pada seluruh rakyat Indonesia. ”Keputusan membatalkan satu pasal saja itu memengaruhi seluruh sustainability dari BPJS Kesehatan,” ujar dia di kantor Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Jakarta, kemarin (10/3).
Ani –sapaan akrabnya– menganggap wajar jika tidak semua pihak puas dengan Perpres 75/2019 tentang Jaminan Kesehatan. Namun, dia meyakinkan bahwa pemerintah mempertimbangkan seluruh aspek sebelum menerbitkan beleid tersebut.
Aspek pertama, papar dia, adalah keberlangsungan program JKN. Prinsipnya, jasa kesehatan harus bisa dinikmati seluruh rakyat Indonesia. ”Gimana bisa tetap memberi pelayanan, tapi juga tetap memiliki sustainabilitas atau keberlangsungan,” paparnya.
Kedua, aspek keadilan. Dia memerinci, ada 96,8 juta warga miskin atau tidak mampu yang biaya kesehatannya dibayar pe-merintah. Mereka yang mampu juga diminta untuk ikut bergotong royong dengan dibagi dalam tiga kelas. Demikian pula dari swasta, TNI, Polri, dan ASN.
Seluruhnya dihitung agar JKN bisa tetap berjalan. ”Karena ada dana yang berasal dari APBN, pusat, daerah, swasta, dan ma-syarakat mampu. Masyarakat tidak mampu kita bayar sepenuhnya,” jelas Ani. ”Keputusan tersebut (putusan MA, Red) membuat ini semua berubah. Kita berharap masyarakat tahu, itu konsekuensinya besar terhadap JKN.”
Sementara itu, Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) sebagai pihak yang mengajukan gugatan ke MA menyambut baik putusan pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Namun, mereka juga memberikan sejumlah catatan.
Kuasa hukum KPCDI Rusdiyanto memahami bahwa kenaikan iuran diberlakukan sebagai usaha mengatasi defisit. Setiap tahun defisit BPJS Kesehatan terus bertambah. Namun, dengan kenaikan hampir 100 persen, menurut dia, selain defisit tertutupi, bakal ada keuntungan.
Kenaikan iuran juga tidak dibarengi dengan asas transparansi. Menurut Rusdi, tidak ada informasi jelas yang disampaikan kepada masyarakat mengenai perhitungan kenaikan tersebut. Berapa sebenarnya kenaikan yang dibutuhkan untuk menutupi defisit BPJS Kesehatan.
Jika kondisi keuangan BPJS Kesehatan terus defisit, lanjut dia, seharusnya ada evaluasi dan audit keuangan dari pihak yang berwe-nang. Rusdi menyebut kemungkinan adanya mismanajemen yang akhirnya membebani masyarakat peserta BPJS Kesehatan, khususnya pasien.
Di bagian lain, analis asuransi Irvan Rahardjo menyayangkan putusan MA yang membatalkan kenaikan iuran peserta bukan pe-nerima upah (PBPU) BPJS Kesehatan. Menurut dia, kenaikan iuran merupakan salah satu cara untuk menyehatkan lembaga jaminan kesehatan nasional itu. ”Kenaikan iuran itu sebuah keniscayaan,” ungkapnya kepada Jawa Pos.
PBPU atau peserta mandiri, papar dia, berisiko membayar iuran ketika sakit saja. Ketidakpatuhan plus batalnya kenaikan iuran akan menjadi beban bagi BPJS Kesehatan. Apalagi, lembaga yang dipimpin Fahmi Idris itu juga punya banyak pekerjaan rumah untuk mengatasi kebocoran lain.
Menurut hasil audit BPKP, ada beberapa hal yang harus dikerjakan oleh BPJS Kesehatan untuk memperbaiki keuangan. Di antara-nya, menyesuaikan data kepesertaan, mengupayakan kepatuhan iuran, hingga mengatasi kecurangan pembayaran. Irvan menyatakan, pekerjaan rumah dari BPKP tersebut harus dijalankan beriringan dengan kenaikan iuran. (aspost/jawapos)