Abu Manan Bahas Hakikat Keimanan kepada Allah SWT

ASPOST.ID- Muzakarah Masalah Keagamaan yang dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kabupaten Aceh Utara, hari kedua berlangsung di Mesjid Baitul Mukhlisin Sampoiniet, Kecamatan Baktiya Barat, pada Senin (22/11).

Ketua MPU Kabupaten Aceh Utara,Tgk. H. Abdul Manan akrab disapa Abu Manan Blangjruen yang bertindak sebagai pemateri membahas tentang Hakikat Keimanan kepada Allah SWT. Abu Manan menyebutkan, rukun iman yang paling mendasar dalam Islam adalah keimanan kepada Allah SWT, sebagai Sang Pencipta bagi sekalian makhluk dan yang menanggung segala kebutuhan makhluk, baik yang terlihat secara kasat mata (lahiriyah) maupun secara bathiniyah, yang mencakup segala nikmat, rahmat, dan hidayah. Karena keimanan kepada Allah SWT adalah keimanan yang paling pokok, maka wajib bagi sekalian makhluk mengenal-Nya dengan sebenar-sebenar kenal, mengetahui eksistensi ketuhanan-Nya, serta mengetahui ketentuan-ketentuan-Nya, agar memenuhi pokok-pokok dasar keimanan kepada-Nya semata-mata.

“Keimanan kepada Allah SWT merupakan Aqidah yang paling dasar. Aqidah adalah keyakinan yang pasti dan keputusan yang mu’tamad, tidak bercampur dengan syak atau keraguan pada seseorang yang beraqidah. Sehingga aqidah ini juga bisa diartikan dengan keimanan yang teguh tanpa disertai keraguan di dalam hati,”ucap Abu Manan.

Menurut Ketua MPU ini, aqidah yang benar merupakan landasan tegaknya agama dan kunci diterimanya amalan. Hal ini sebagaimana ditetapkan oleh Allah SWT di dalam firman-Nya, dengan artinya: Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya hendaklah dia beramal shalih dan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Nya dalam beribadah kepada-Nya. (QS. Al Kahfi: 110).

Kata Abu Manan, ayat tersebut menunjukkan bahwa amalan tidak akan diterima apabila tercampuri dengan kesyirikan. Oleh sebab itulah para Rasul sangat memperhatikan perbaikan aqidah sebagai prioritas pertama dakwah mereka. Inilah dakwah pertama yang diserukan oleh para rasul kepada kaum mereka: “Menyembah kepada Allah saja dan tidak menyembah kepada selain Allah Swt.” 

Selain itu, lanjut Abu Manan, keimanan kepada Allah SWT adalah meyakini semua yang ada pada Allah SWT dan meyakini semua yang tidak ada bagi Allah SWT. Oleh karena itu, kita wajib meng-isbatkan ada pada Allah SWT karena Allah itu memang ada.  Demikian juga kita wajib meng-isbatkan sesuatu yang tidak ada bagi Allah SWT, seperti syirik dan anak, karena memang syirik dan anak itu tidak ada pada Allah.

Keesaan pada Allah SWT juga disebut dengan istilah Tauhid. Tauhid adalah mengesakan Allah sebagai zat wajib wujud yang tiada Ta’addud pada Wujud dan Maujud. Berarti Allah SWT adalah Ahad, yang pengertiannya adalah satu dalam hitungan dan satu pula dalam bilangan.Tauhid pada Allah SWT tidak hanya membicarakan tentang Zat, tetapi mencakup sifat dan Af’al. Maka tidak dinamakan Tauhid jika seseorang hanya beriman pada Ahad zat Allah SWT, sedangkan pada sifat dan Af’al Allah SWT diimani keesaan-Nya. 

Kemudian, Abu Manan juga menjelaskan tentang keesaaan Zat Allah SWT. Keimanaan pada keesaan zat Allah SWT adalah mengesakan dengan penuh keyakinan (Keimanan) bahwa Zat Allah SWT itu tunggal (Ahad), bukan dua, tiga, dan seterusnya. Zat Allah SWT juga tidak terdiri dari juzuk-juzuk (anggota/bagian) seperti tangan, kaki, wajah, dan sebagainya. 

Zat Allah SWT tidak serupa dengan makhluk, sebagaimana firman-Nya dalam Al-Quran surah Asyuraayat 11, dengan Artinya: Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat (QS. Asyura: 11).
Ketidakserupaan Zat Allah SWT menunjukkan kepada kekekalan, tiada awal dan akhir, sebalik dari makhluk yang ada awal dan akhirnya, serta terjadi perubahan pada manusia dari tiada menjadi ada, dari kecil menjadi tua, kemudian binasa. Atau dari hidup menjadi mati, dan dihidupkan kembali untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatan mereka pada Hari Akhir.

” Jadi dengan demikian, Zat Allah SWT merupakan perwujudan dari adanya Allah. Sama halnya manusia ada, karena Allah dan dzat-Nya ada. Zat Allah SWT merupakan satu perwujudan yang berdiri sendiri tanpa adanya ketergantungan pada zat yang lain. Sangat berbeda dengan manusia yang membutuhkan Allah SWT untuk bisa hidup. Adanya alam, malaikat, jin, dan manusia itu tercipta karena adanya akibat dari adanya Zat Allah. Semua ada karena Zat Yangmaha Qadim. Zat Allah SWT memiliki sifat-sifat yaitu sifat yang wajib, sifat yang mustahil bagi Allah, dan sifat yang Jaiz pada Zat Allah SWT,”jelas Abu Manan.

Lanjut Abu Manan, menyangkut Keesaan Sifat Allah SWT yakni Tauhid terhadap sifat Allah SWT adalah mengesakan dengan sesungguhnya bahwa Allah SWT memiliki sifat yang tidak bisa disifati oleh makhluk. Artinya, tidak ada satu pun dari makhluk yang dapat menyamai dengan sifat Allah SWT. Karena sifat Allah SWT mengandung unsur Ahad (keesaan), berarti tidak ada syarikat/sekutu bagi-Nya.

Seperti sifat Qudrah Allah SWT yang tidak dimiliki oleh manusia. Kemampuan manusia hanya sebatas apa yang diberikan oleh Allah SWT.
Sedangkan, Keesaan Af’al Allah SWT. Selain Ahad atau esa pada zat dan sifat, Allah SWT juga Ahad perbuatan-Nya. Artinya tidak ada satu makhluk pun yang dapat menyamai, bahkan menandingi perbuatan Allah SWT. Bahkan perbuatan atau kejadian pada manusia telah Allah ciptakan pada Azali. Firman Allah SWT, dengan artinya: Allah yang telah menciptakan dan apa saja yang engkau kerjakan.

“Seorang mukallaf wajib meyakini bahwa Allah SWT yang menciptakan makhluk dan menciptakan perbuatan makhluk. Apabila seseorang beriktiqad bahwa Allah SWT yang menciptakan makhluk dan Allah pula yang menciptakan perbuatan makhluk, maka seseorang tersebut sudah termasuk orang beriman,”ucap Abu Manan, seperti dilansir harianrakyataceh.

Namun, sambung Abu Manan, apabila seseorang beriktiqad bahwa Allah SWT yang menciptakan makhluk, sedangkan perbuatan makhluk tidak diciptakan oleh Allah SWT, akan tetapi makhluk itu sendiri yang menciptakannya, maka orang tersebut telah jadi kafir. Tapi perlu diketahui bahwa perbuatan manusia tersebut tidak tersentuh dengan Allah SWT.

Sebagaimana contoh, perbuatan mencuri itu diciptakan Allah SWT, tapi Allah SWT tidak melakukannya, karena perbuatan mencuri tidak tersentuh dengan Allah SWT. Tapi yang nampak perbuatan mencuri adalah manusia, sebab manusia yang melakukannya, Allah SWT hanya menciptakannya.

Dari penjelasan tersebut sahlah dikatakan, bahwa Allah SWT memasukkan seseorang ke dalam syurga karena dia taat dan Allah memasukkan orang bermaksiat ke dalam neraka. maka, iman seseorang sangat bernilai di sisi Allah. Nilai ibadat seukuran dengan nilai iman. Sempurna iman maka sempurna nilai ibadat, demikian pula sebaliknya. 

Ketentuan Allah SWT terhadap manusia disebut “Qadar.” Qadar ini telah ditentukan Allah SWT pada Azali, apakah dia kaya, miskin, bahagia, celaka, dan sebagainya. Sebagai contoh, AllahSWT telah mentakdirkan seseorang itu kaya pada masa Azali atau disebut juga Saabiq (terdahulu), maka usaha dan doa yang dilakukan di dunia ini merupakan Laahiq yakni suatu perbuatan yang menghubungkan pada Qadarullah pada Azali. (asp)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here