ASPOST.ID – Tanggal 4 Desember setiap tahun diperingati sebagai hari lahirnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Indonesia. Motivasi yang paling mengemuka di balik gerakan ini adalah adanya rasa kekecewaan terhadap sikap Jakarta yang sentralistis, utamanya dalam persoalan porsi ekonomi, selain peninggalan masalah politik kesejahteraan Aceh.
4 Desember 1976 merupakan hari di mana Tengku Hasan di Tiro, orang yang memprakarsai lahirnya GAM serta pengikutnya mengeluarkan pernyataan perlawanan terhadap Pemerintah Republik Indonesia. Pernyataan tersebut dilangsungkan di perbukitan Halimon di kawasan Kabupaten Pidie.Diawal masa berdirinya GAM, nama resmi yang digunakan adalah Aceh Merdeka (AM).
Dilansir dari BBC, Hasan Tiro telah memprakarsai gerakan ini dengan jalan diplomasi dan militer yang panjang. Dan pada akhirnya Hasan Tiro menggalang ide kemerdekaan tersebut, namun akhirnya dijawab secara militer oleh Presiden Suharto.
Sempat lari ke hutan-hutan, Hasan Tiro memilih melarikan diri ke luar negeri, dan bermuara kepada permintaan suaka politik ke Swedia pada tahun 1979.
Saat berada di Swedia, pria kelahiran 25 September 1925 ini berpikir bahwa Ia akan melanjutkan gagasan kemerdekaannya membawa rakyat Aceh dan kali itu dengan tekanan pada perjuangan diplomatik.
Meskipun demikian, di pertengahan tahun 80-an, bekas pengusaha ini menghidupkan kembali perlawanan militer dengan mengirimkan ratusan pemuda Aceh untuk berlatih kemiliteran di Libya.
Anak-anak muda didikan militer Libya inilah yang belakangan tampil sebagai Tentara Neugara Aceh, TNA, yang kemudian disegani.
Menyatakan Perlawanan Terbuka
Jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998 menyulut kembali ide kemerdekaan yang masih bersemayam di masyarakat Aceh. Semula gerakan tersebut masih tertutup, namun lama kelamaan semakin terbuka.
Media-media di Indonesia pada saat itu bahkan secara mudah dapat melaporkan aktivitas militer GAM, tanpa khawatir ditekan oleh pihak militer. Selain itu, adanya keberhasilan kemerdekaan Timor-Timur dari Indonesia tahun 1999 juga memunculkan tuntutan referendum di seluruh wilayah Aceh.
Tuntutan tersebut memang masih tetap ditolak, namun secara perlahan tetapi pasti, sosok Hasan Tiro masih terus memprakarsainya.
Pada pertengahan 2002, Hasan Tiro dan petinggi GAM lainnya di pengasingan melakukan konsolidasi. Mereka membentuk kembali struktur pemerintahan GAM, dan Hasan tetap menjadi pemimpin tertinggi.
Di masa Presiden Abdurrahman Wahid, pertemuan informal di antara kedua pihak masih menemui kegagalan. Selanjutnya berganti dengan kepemimpinan Megawati, upaya tersebut juga mengalami jalan buntu.
Di masa Megawati ini pula, pemerintah menempuh operasi militer terbatas, sebelum status ini dicabut setahun kemudian. Dalam masa ini sejumlah juru runding GAM ditangkap.
Efek dari Tsunami Aceh
Adanya konflik berkepanjangan antara GAM dan Pemerintah Indonesia mulai mengalami perubahan setelah adanya bencana alam tsunami yang telah banyak menimbulkan korban jiwa.
Rupanya, bencana alam yang terjadi pada 26 Desember 2004 ini mampu melunakkan kedua belah pihak, tidak terkecuali Hasan Trio.
Gencatan senjata pun dilakukan, dan kedua belah pihak pun mau kembali ke meja perundingan. Kontak dengan Hasan Tiro pun dilakukan oleh Jakarta, yang ternyata tidak mudah.
Melalui perundingan maraton yang melibatkan Wakil Presiden Yusuf Kalla dan pimpinan pusat GAM, kesepakatan damai itu akhirnya ditandatangani di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005.
Poin penting dalam kesepakatan tersebut yaitu Pemerintah Indonesia akan memfasilitasi pembentukan partai lokal di Aceh dan pemberian amnesti bagi anggota GAM.
Empat bulan dari peristiwa tersebut, Tentara Neugara Aceh resmi dibubarkan, dan kemudian dibentuk komite peralihan untuk membubarkan mantan tentara dengan warga sipil.
Pulang ke Aceh
Perubahan politik di atas, termasuk digelarnya pemilihan kepala daerah di Aceh, membuat Hasan Tiro kembali ke tanah kelahirannya pada 17 Oktober 2008, tiga tahun setelah perjanjian damai itu.
Warga Aceh berbondong-bondong menyambutnya di Bandar Udara Sultan Iskandar Muda hingga di Pusat Kota Banda Aceh.
Sejak saat itulah, Hasan Trio kembali menetap di Aceh, setelah lebih dari 30 tahun menyandang status sebagai pelarian politik.
Pada 2 Juni 2010, dalam keadaan sakit dan dirawat di salah satu rumah sakit di Banda Aceh, Hasan Trio kembali memperoleh status kewarganegaraannnya setelah Pemerintah Indonesia memulihkan status kewarganegaraannya. (merdeka.com/aspost.id)