Persoalan Reintegrasi Tak Selesai, Jadi Bom Waktu di Aceh

ASPOST.ID- Pemerintah harus segera menyelesaikan persoalan reintegrasi kombatan GAM, Tapol/Napol dan korban konflik. Namun, jika persoalan itu tidak selesai maka akan menjadi bom waktu bagi Aceh.  

Untuk itu, Pemerintah harus lebih peduli kepada Badan Reintegrasi Aceh (BRA) yang menangani korban konflik, kombatan GAM, Tapol/Napol dan anak yatim korban konflik. Selama ini terkesan pemerintah masih kurang peduli terhadap BRA tersebut. Baik itu Pemerintah Pusat, Pemerintah Aceh maupun Pemerintah Kabupaten/kota di Aceh.

“Marilah kita sama-sama mendukung BRA, termasuk dari pemerintah harus memperhatikan BRA. Jangan pemerintah cuma sebatas menonton atau melihat kondisi BRA,”ucap Ketua BRA Provinsi Aceh, Muhammad Yunus, dalam acara serahterima jabatan Ketua BRA Aceh Utara lama dari Muradi kepada Ketua BRA baru Anwar Ramli, di kantor BRA setempat, Kamis (13/2).

Ia mengatakan, persoalan reintegrasi di Aceh saat ini adalah persoalan yang sangat mendesak. “Kalau seandainya persoalan reintegrasi tidak terealisasi atau tidak ada jalan ada keluar maka akan menjadi bom waktu untuk Aceh,”tegasnya.  

Menurut dia, sadar atau tidak sadar persoalan reintegrasi sangat besar, karena jelas tertuang dalam perjanjian damai atau MoU Helsinki RI-GAM pada 15 Agustus 2005 silam. Dalam poin MoU itu dijelaskan, Pemerintah harus menjamin kesejahteraan kombatan GAM, Tapol/Napol, menyediakan pekerjaa dan fasilitas atau rumah itu layak huni. “ Itu menjadi kewajiban dari Pemerintah, jangan sekarang Pemerintah hanya membebankan kepada BRA. Padahal, BRA hanya bisa mengambil kebijakan, tapi bukan keuangan,”ungkapnya.  

Sebut Ketua BRA ini, program yang tidak didukung oleh anggaran maka program itu tidak akan jalan karena setiap program membutuhkan anggaran. “Kalau tidak didukung oleh Pemerintah terhadap anggaran maka tidak jalan BRA dalam program reintegrasi,”cetusnya.

Bahkan, lanjut dia, dalam dua tahun terakhir hampir Rp 1 triliun anggaran yang diusulkan ke Pemerintah Aceh, untuk program reintegrasi atau proposal yang diajukan ke BRA Provinsi, tapi tidak ditampung dalam APBA. “Jadi setiap tahun itu anggaran untuk BRA nol  akibat tidak direspon dengan anggaran Pemerintah, walaupun kita sudah ikuti aturan dalam pengusulan anggaran Pemerintah,”kesalnya.  

Namun, kata dia lagi, saat pihaknya buat pendekatan dengan Pemerintah (Bappeda dan Sekda) alasan mereka adalah BRA itu harus direvisi qanunnya biar jelas. “Kalau persoalan revisi qanun tentang BRA butuh waktu setahun lagi,”ucapnya. Sementara masyarakat korban konflik, imbas konflik, kombatan GAM, Tapol/Napol dan anak yatim korban konflik sudah menunggu terhadap proposal yang diajukan tersebut.

Hal senada juga disampaikan Ketua KPA Wilayah Samudera Pase, Tgk Zulkarnaini Hamzah. Ia menegaskan,  BRA itu lahir dari tingkat Provinsi Aceh hingga kabupaten/kota di Aceh hasil dari MoU Helsinki RI-GAM.  “Maka sangat aneh, jika Pemerintah mengabaikan keberadaan BRA di Aceh, karena persoalan reintegrasi belum selesai,”ungkapnya, seperti dilansir harianrakyataceh.

Ia mengatakan, Pemerintah jangan membuat persoalan lagi di Aceh. Pasalnya, apa saja yang tertuang dalam poin MoU Helsinki itu masih banyak belum terselesaikan.  Pemerintah jangan pernah mengabaikan apa saja yang menjadi hak Aceh.

Sementara hadir dalam acara serahterima jabatan Ketua BRA Aceh Utara Anwar Ramli, Ketua DPRK Aceh Utara, Arafat bersama anggota dewan, Ketua Muna Aceh Utara, para panglima daerah, panglim sagoe, jajaran KPA/PA dan undangan lainnya. (asp)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here