ASPOST.ID- Rakyat Aceh, terutama para mantan kombatan dan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) kini menjadi objek tarik-menarik kepentingan politik, lokal maupun nasional.
Ada elite
politik yang mencoba mengkotak-kotakan rakyat Aceh, bahkan faksi-faksi di dalam
GAM sendiri demi kepentingan dan keuntungan politik mereka. Namun, tokoh
intelijen nasional Suhendra Hadikuntono, yang mengenal sangat dekat rakyat Aceh
dan GAM berpendapat, representasi paling sah dari rakyat Aceh dan GAM adalah
Wali Nanggroe Aceh Tengku Malik Mahmud Al-Haythar.
“Apa pun klaim mereka, baik dari tokoh lokal Aceh maupun
tokoh nasional, baik dari unsur GAM atau pun yang lainnya, yang paling sah dan
representatif mewakili rakyat Aceh adalah Wali Nanggroe Aceh Paduka Yang Mulia
(PYM) Tengku Malik Mahmud Al-Haythar,” ujar Suhendra seperti dalam
rilis yang diterima redaksi, Jumat (31/1/2020).
Secara de jure, kata Suhendra, Malik Mahmud merupakan
pemimpin tertinggi dan representasi sah dari GAM dan rakyat Aceh, karena ia
sebagai “peace maker” sekaligus penanda tangan Memorandum of
Understanding (MoU) antara Pemerintah RI dan GAM di Helsinki, Finlandia, 15
Agustus 2005. GAM diwakili Malik Mahmud yang saat itu menjabat Perdana Menteri
(PM) GAM yang bermarkas di Swedia.
MoU Helsinki inilah yang mengakhiri konflik bersenjata antara
Pemerintah RI dan GAM yang bibitnya sudah tersemai sejak era Orde Lama, kian
menghebat pada era Orde Baru, dan berakhir pada era reformasi ini.
“Artinya, secara de jure jabatan Wali Nanggroe merupakan
pemimpin tertinggi dan representasi paling sah dari GAM dan rakyat Aceh,”
tegas Suhendra.
Secara de facto, kata Suhendra, Malik Mahmud juga merupakan
representasi paling sah dari GAM dan rakyat Aceh. “Terbukti,
pasca-penandatanganan MoU Helsinki yang dilakukan PYM Malik Mahmud,konflik
bersenjata di Aceh antara Pemerintah RI dan GAM berakhir,” paparnya.
Bahwa ada unsur GAM atau rakyat Aceh yang tidak puas atau
bahkan tidak sependapat dengan penandatanganan MoU Helsinki, menurut Suhendra,
hal itu wajar-wajar saja dalam sebuah perjuangan. Yang penting, katanya,
mayoritas kombatan dan anggota GAM serta rakyat Aceh menerima MoU Helsinki itu,
terbukti dengan berakhirnya konflik bersenjata di Bumi Serambi Mekah ini.
“Bila ada yang tidak puas, itu cuma riak-riak kecil dalam samudera perjuangan
rakyat Aceh. Itu cuma badai di dalam gelas,” cetus Suhendra mengutip
ungkapan Bung Karno.
“Kini ada yang coba-coba agar MoU Helsinki ditarik-tarik
sesuai pemahamannya sendiri untuk kepentingan politik mereka, baik elite lokal
maupun nasional. Internal GAM dan rakyat Aceh mereka coba benturkan,”
lanjutnya.
Suhendra melihat saat ini kombatan dan anggota GAM solid
dalam perjuangan mewujudkan cita-cita bersama yang tertuang dalam MoU Helsinki,
termasuk soal bendera Bulan Bintang yang merupakan simbol budaya rakyat Aceh
Suhendra menyarankan agar para elite politik, baik lokal
maupun nasional, termasuk yang duduk di pemerintahan, bila hendak mengajak
bicara rakyat Aceh, atau membahas nasib rakyat dan wilayah Aceh, harus
melibatkan Wali Nanggroe Aceh Tengku Malik Mahmud Al-Haythar sebagai tokoh
kunci. “Harus satu pintu. Tanpa melibatkan PYM Malik Mahmud, mustahil
masalah di Aceh akan tuntas. Sebab, secara de jure dan de facto, beliau
merupakan representasi sah dari GAM dan rakyat Aceh secara keseluruhan,”
tandas Suhendra. (rel/asp)